Diplomasi Panda :

Justinus Devian Maheswara
6 min readDec 23, 2020

--

Strategi Diplomasi Cina dalam Menyokong Peaceful Development

Ini UAS, tp dipost aja daripada nganggur :DD

Dalam beberapa dekade terakhir, politik luar negeri menjadi salah satu instrumen penting bagi Cina dalam rangka mewujudkan kepentingannya serta membentuk lingkungan eksternal yang mendukung kepentingan tersebut. Pemerintah Cina pun mengusung sebuah kebijakan yang dikenal dengan istilah peaceful rise atau peaceful development seraya berdinamika di arena internasional. Istilah tersebut pertama kali dikembangkan pada akhir 2003 oleh Zheng Bijian, seorang penasihat kebijakan yang menjelaskan bahwa reformasi domestik Cina beserta pembangunan dan pemulihan status great power-nya bergantung pada lingkungan eksternal yang damai dan stabil.[1] Dengan kata lain, Cina akan membangun kekuatan sosial, politik, dan ekonominya dengan maksud yang damai tanpa memberikan ancaman bagi komunitas internasional. Kebijakan ini kemudian diadopsi oleh pemimpin Cina kala itu dan tetap berlangsung hingga saat ini. Namun, banyak pihak yang memperdebatkan makna ‘damai’ pada kebijakan ini. Hal ini dikarenakan keasertifan dan keagresifan Cina dalam bertindak di lingkup internasional, terutama di Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur. Cina mengklaim banyak teritori secara sewenang-wenang dan mengirimkan armada militernya untuk menjaga wilayah tersebut, menunjukkan pendekatan Cina yang koersif dan sangat berlawanan dengan jargon pada kebijakan yang diusungnya. Meskipun demikan, politik luar negeri Cina tidak dapat dikatakan koersif sepenuhnya dikarenakan Cina juga memiliki strategi yang lebih halus, yaitu diplomasi panda yang menggunakan panda sebagai alat diplomasinya dengan meminjamkannya ke beberapa negara. Esai ini akan menjelaskan korelasi antara praktik diplomasi panda dengan kebijakan peaceful development Cina. Saya meyakini bahwa adanya diplomasi panda mampu menyokong keberlangsungan peaceful development. Untuk itu, saya akan mengelaborasikan tiga argumen utama, yaitu diplomasi panda sebagai soft power, diplomasi panda sebagai diplomasi publik, dan manfaat ekonomi pada negara yang terlibat.

Pertama, diplomasi panda sebagai soft power. Soft power merupakan konsep yang digagas oleh Joseph Nye mengenai penggunaan kekuatan dengan cara yang non-koersif. Ia mendefinisikan kekuatan tersebut sebagai sebuah kemampuan dalam memengaruhi aktor lain untuk mendapatkan hasil yang diinginkan melalui daya tarik dan bujukan ketimbang paksaan atau sanksi.[2] Lebih lanjut lagi, Nye menjelaskan kekuatan ini juga memiliki kemampuan untuk membentuk preferensi pada aktor lain yang ia asosiasikan dengan beberapa aset, seperti kepribadian, budaya, nilai politik, hingga kebijakan yang logis dan memiliki otoritas moral. Melalui pendekatan ini, saya memiliki asumsi bahwa diplomasi panda merupakan aset dari politik luar negeri Cina untuk membentuk preferensi pada aktor lain. Penggunaan panda sebagai alat diplomasinya merupakan langkah Cina untuk mengkonstruksi citranya yang terkesan lunak dan tidak mengancam, terlebih karakteristik dari panda yang lucu dan menggemaskan.

Praktik diplomasi yang unik ini kemudian mengundang perhatian banyak audiens internasional dan menimbulkan ketertarikan pada banyak negara untuk menjalin hubungan bilateral dengan Cina. Hingga saat ini Cina telah melakukan diplomasi panda pada banyak negara, total terdapat 49 panda yang hidup di 18 kebun binatang di berbagai belahan dunia, meliputi Amerika Serikat, Meksiko, Spanyol, Skotlandia, Prancis, Jepang, Thailand, dan Australia.[3] Dari total tersebut, 24 dipinjamkan, 17 lahir di luar daratan Cina, dan 8 didonasikan sebagai hadiah. Alhasil, peluang Cina untuk memperoleh dukungan dan membentuk preferensi negara lain terhadap Cina melalui hubungan bilateral pun terbuka lebar, meskipun cara ini tidak selalu berhasil mengingat posisi AS dan Jepang yang tetap menentang keasertifan Cina. Dengan ini, diplomasi panda ditujukan untuk mengumpulkan banyak mitra dengan membangun hubungan bilateral yang signifikan sehingga mampu meminimalisir pihak yang kontra terhadap kebijakan Cina di arena internasional, termasuk peaceful development.

Kedua, diplomasi panda sebagai diplomasi publik. Dalam mengontrol dan mengaktifkan soft power, suatu aktor membutuhkan diplomasi publik sebagai instrumennya. Joseph Nye menjelaskan diplomasi publik sebagai instrumen yang digunakan pemerintah untuk memobilisasi sumber daya (nilai politik, kebijakan, budaya) untuk berkomunikasi dan menarik perhatian publik di negara lain.[4] Seiring berjalannya waktu, konsep dari diplomasi publik terus mengalami perkembangan. Signitzer dan Coombs dalam artikel jurnalnya yang berjudul “Public Relations and Public Diplomacy: Conceptual Covergences” kemudian mendefinisikan diplomasi publik sebagai suatu cara di mana pemerintah, individu, maupun kelompok swasta secara langsung maupun tidak langsung memengaruhi sikap dan opini publik yang juga berpengaruh pada keputusan kebijakan luar negeri pemerintah lain.[5] Dengan ini, diplomasi panda digunakan untuk membentuk opini publik dan citra yang positif terhadap Cina hingga memengaruhi proses pembentukan kebijakan luar negeri negara lain terkait berjalannya peaceful development.

Pemahaman mengenai diplomasi panda sebagai diplomasi publik dapat ditunjukkan melalui dua hal, yakni jumlah peminat dan liputan media.[6] Yang dimaksud dengan jumlah peminat ialah jumlah pengunjung kebun binatang yang terpikat untuk melihat panda. Dari sisi ini, mayoritas pengunjung kebun binatang di luar Cina meningkat dengan adanya panda yang dipinjamkan atau didonasikan oleh negeri tirai bambu tersebut. Contohnya pada kebun binatang Edinburgh, Skotlandia jumlah pengunjung meningkat sebesar 200 persen pada saat pasangan panda pertama kali diperkenalkan pada Desember 2011, semenjak itu terdapat sekitar 70.000 pengunjung yang mengunjungi kebun binatang sebanyak lebih dari tiga kali.[7] Hal ini tentunya membentuk citra positif dari sebuah komunitas terhadap posisi Cina. Tidak berhenti di situ, fenomena ini juga menarik para media untuk menjadikan diplomasi panda sebagai objek liputannya. Membingkai diplomasi panda bagaikan isu yang menarik dan unik hingga mengalihkan perhatian banyak aktor dari kebijakan luar negeri Cina lain yang agaknya koersif sekaligus mengurangi kecurigaan terhadap intensi Cina dalam hubungan internasional.

Ketiga, manfaat ekonomi pada negara yang terlibat. Menurut saya praktik diplomasi panda akan menghasilkan win-win situation di mana aktor-aktor yang terlibat akan mendapatkan keuntungan ekonomi dua arah. Hal ini dikarenakan implementasi dari diplomasi tersebut dengan Cina yang meminjamkan panda dengan jangka waktu dengan iuran tertentu, sedangkan negara penerima akan mendapatkan keuntungan melalui daya tarik dan kepopuleran panda terhadap meningkatnya jumlah pengunjung. Adanya kondisi tersebut juga memungkinkan terbentuknya suatu kesepakatan dagang antara Cina dengan negara penerima. Sebagai contoh, setelah melakukan diplomasi panda di kebun binatang Edinburgh, Skotlandia kesepakatan perdagangan dibentuk antara Cina dengan perusahaan Burges Salmon dan Land Rover dengan kontrak senilai $ 4 miliar.[8] Keuntungan ekonomi dua arah ini tentunya semakin membuat Cina terlihat sebagai aktor yang memiliki itikad baik dalam menjalankan peranannya untuk mewujudkan peaceful development.

Ketiga argumen di atas kiranya telah menjelaskan bagaimana diplomasi panda mampu mendorong keberlangsungan atau keberhasilan kebijakan peaceful development cina. Hal ini dikarenakan tiga faktor, yaitu diplomasi panda yang merupakan manifestasi dari soft power, diplomasi publik, dan keuntungan ekonomi dua arah. Dari sisi soft power, Cina mampu membangun banyak mitra dan membentuk preferensi aktor lainnya dengan menggunakan panda sebagai alat diplomasi. Sedangkan dari sisi diplomasi publik, diplomasi panda mampu membetuk persepsi yang baik di kalangan masyarakat maupun media terhadap citra Cina, sehingga perhatian para audiens tidak hanya terpusat pada isu kebijakan luar negeri Cina yang koersif. Terakhir dari sisi keuntungan ekonomi dua arah, diplomasi panda mampu menghasilkan keuntungan ekonomi terhadap kedua belah pihak dan memungkinkan terbentuknya berbagai kesepakatan dagang yang bermanfaat untuk prospek kedepannya.

[1] J. Zhang, ‘China’s new foreign policy under Xi Jinping: towards ‘Peaceful Rise 2.0’?,’ Global Change, Peace & Security, vol. 27, no. 1, January 2015, p. 4.

[2] J.S. Nye, ‘Public Diplomacy and Soft Power,’ Annals of the American Academy of Political and Social Science, vol. 616, no. 1, May 2013, p. 95.

[3] F. Hartig, ‘Panda Diplomacy: The Cutest Part of China’s Public Diplomacy,’ The Hague Journal of Diplomacy, vol. 8, no. 1, November 2012, p. 50.

[4] Nye, p. 95.

[5] B.H. Signitzer & T. Coombs, ‘Public Relations and Public Diplomacy: Conceptual Covergences,’ Public Relations Review, vol. 18, no. 2, 1992, p. 138.

[6] Hartig, p. 64.

[7] ‘A rather giant panda effect at Edinburgh Zoo sees visitor numbers soar by 200 per cent,’ Daily Mail (daring), February 2012, https://www.dailymail.co.uk/travel/article-2095374/Edinburgh-Zoo-pandas-visitors-soar-200.html, diakses pada 23 Desember 2020.

[8] M. Hogenboom, ‘China’s new phase of panda diplomacy,’ BBC (daring), September 2013, https://www.bbc.com/news/science-environment-24161385, diakses pada 23 Desember 2020.

Kepustakaan

Artikel dalam jurnal

Zhang, J., ‘China’s new foreign policy under Xi Jinping: towards ‘Peaceful Rise 2.0’?,’ Global Change, Peace & Security, vol. 27, no. 1, January 2015, pp. 5–19.

Nye, J.S., ‘Public Diplomacy and Soft Power,’ Annals of the American Academy of Political and Social Science, vol. 616, no. 1, May 2013, pp. 94–109.

Hartig, F., ‘Panda Diplomacy: The Cutest Part of China’s Public Diplomacy,’ The Hague Journal of Diplomacy, vol. 8, no. 1, November 2012, pp. 49–78.

Signitzer, B.H. & Coombs, T., ‘Public Relations and Public Diplomacy: Conceptual Covergences,’ Public Relations Review, vol. 18, no. 2, 1992, pp. 137–147.

Artikel daring (dengan penulis)

Hogenboom, M., ‘China’s new phase of panda diplomacy,’ BBC (daring), September 2013, https://www.bbc.com/news/science-environment-24161385, diakses pada 23 Desember 2020.

Artikel daring (dengan organisasi pemilik/penerbit artikel)

‘A rather giant panda effect at Edinburgh Zoo sees visitor numbers soar by 200 per cent,’ Daily Mail (daring), February 2012, https://www.dailymail.co.uk/travel/article-2095374/Edinburgh-Zoo-pandas-visitors-soar-200.html, diakses pada 23 Desember 2020.

--

--