Reviu Film Maybe Someday, Another Day, But Not Today: Terperangkap dalam Kelamnya Patriarki

Justinus Devian Maheswara
3 min readDec 4, 2022

--

Maybe Someday, Another Day, But Not Today merupakan film pendek garapan Seb’s Sine Club dan Mulih Films yang menceritakan kehidupan Tiara sebagai ibu rumah tangga yang terpaksa menghabiskan sebagian besar waktunya hanya untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan memenuhi kebutuhan suaminya.

Plot dimulai ketika Tiara memulai hari dengan bercermin dan menentukan pakaian apa yang ingin ia kenakan. Selanjutnya, ia menjemur pakaian, mengibas debu di kasur, menyapu, dan menonton konten fashion di media sosial sembari menunggu suaminya pulang bekerja. Via telepon, suaminya berpesan agar Tiara memasakkannya mie goreng dan nasi sebagai makan malam, namun karena kehabisan beras dan gas untuk memasak, suami Tiara membeli nasi di luar dan Tiara terpaksa memasak mie menggunakan rice cooker. Saat suami Tiara tiba di rumah, Tiara bergegas membukakan pintu, mencium tangan suaminya, kemudian menyajikan makan malamnya. Sambil menyetrika pakaian di lantai, Tiara menemani suaminya yang makan di sofa dan bercerita mengenai peluang pekerjaan sebagai tukang cuci dan setrika yang mungkin dapat menghasilkan dan membuat Tiara dapat membeli baju baru. Namun, suaminya malah melarang dan terang-terangan mengatakan bahwa dirinya malu jika memiliki istri pembantu. Tak berhenti di situ, ia juga menyinggung Tiara yang tak pandai memasak karena mie yang dibuatnya terlalu lembek. Tak lama berselang, ia menyuruh Tiara untuk menyiapkan kemeja putih yang dibutuhkannya untuk seleksi karyawan tetap di tempat kerjanya lusa. Sisa hari kemudian mereka habiskan dengan seks yang merupakan hubungan one-sided, karena Tiara terlihat tidak menikmatinya. Keesokan harinya, Tiara menemukan kemeja tersebut, namun dipenuhi oleh noda yang sulit dihilangkan. Ia mencoba segala cara mulai dari menggosoknya berkali-kali hingga menggunakan banyak pemutih, namun tetap saja tidak berhasil. Tidak memiliki pilihan lain, Tiara akhirnya mengambil baju-baju favoritnya kemudian menjualnya melalui laman facebook, uang hasil penjualan tersebut ia tujukan agar dapat membeli kemeja putih baru untuk suaminya. Dengan ekspresi sedih, Tiara pun keluar rumah untuk mengirimkan paket penjualannya ke konsumen dan membeli kemeja putih di kios pinggir jalan. Sambil merokok, Tiara bergegas pulang. Sesampainya di rumah, Tiara memberikan kemeja tersebut namun ditolak oleh suaminya dengan nada kasar karena nyatanya suaminya tidak masuk seleksi karena kuota di tempat kerjanya dikurangi, Tiara juga ditegur karena bau rokok. Film kemudian diakhiri dengan adegan di mana Tiara mengerjakan perkerjaan rumah tangganya dengan mengenakan kemeja putih tersebut.

Meskipun hanya berdurasi 23 menit, film ini berhasil menggambarkan betapa murung, berat, dan menderitanya berada di posisi perempuan yang kerap dieksploitasi oleh budaya patriarki. Dalam film ini, rumah tangga Tiara merepresentasikan bagaimana perempuan tidak pernah bebas dan selalu ada di dalam kontrol seorang laki-laki yang menyandang status kepala keluarga. Hal ini ditunjukkan ketika Tiara hendak mengadu nasib dengan menjadi tukang cuci dan setrika agar ia dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya sendiri, yakni membeli baju baru, namun suaminya malah melarang atas basis harga dirinya yang menurut saya tidak adil dan tidak masuk akal. Adegan lain, seperti Tiara yang ditegur ketika merokok, Tiara yang beraktivitas di lantai sedangkan suaminya berada di sofa, Posisi seks mereka di mana suaminya berada di atas sedangkan Tiara di bawah, secara tidak langsung menunjukkan bahwa perempuan tidak dapat menentukan pilihan hidupnya secara leluasa dan selalu berada di bawah dominasi laki-laki. Yang menyedihkannya lagi, terkadang perempuan berusaha sebaik mungkin demi memenuhi ekspektasi sosial mengenai “istri yang baik”, namun tidak menyadari betapa kaburnya konsep tersebut dan seringkali lupa akan kebahagian diri sendiri. Seperti yang direfleksikan dalam film ini di mana Tiara rela mengorbankan hobinya dan barang kesayangannya (fashion;pakaian) untuk kepentingan suaminya, namun malah berakhir tragis karena suaminya sama sekali tidak menghargai usahanya. Tiara pun harus meratapi nasib dan hari-harinya yang tak bermakna. Dari film ini, kita seharusnya bisa belajar bahwa budaya patriarki sudah tidak zaman dan sudah sepatutnya ditinggalkan. Mengapa demikian? Secara ringkas, budaya ini tidak adil. Budaya ini menganggap bahwa perempuan kurang dari laki-laki dari berbagai aspek; upah, kekuatan, hak, dan sebagainya. Anggapan semacam ini hanya akan menimbulkan gender gap dan kesadaran yang keliru mengenai siapa yang mendominasi siapa yang didominasi atau siapa yang berhak begini siapa yang berhak begitu. Sama halnya seperti gizi, saya raya gender juga harus seimbang, artinya harus ada kesetaraan dan hilangnya diskriminasi atas gender-gender tertentu. Meskipun mungkin rasanya sulit untuk dihilangkan seutuhnya, saya yakin budaya patriarki dapat berkurang dan diatasi seiring dengan berjalannya waktu seperti judul film ini: Maybe Someday, Another Day, But Not Today.

--

--